Komisioner KPAI Retno Listyarti PTM Jangan Dipaksakan SOP Harus Dipastikan Berjalan

Suara.com - Saat ini, seiring level risiko pandemi Covid-19 yang dinyatakan sudah kian menurun di sejumlah daerah, rencana kembalinya pendidikan dengan pola pembelajaran tatap muka (PTM) pun marak dibicarakan lagi. Sebagian daerah dan untuk jenjang pendidikan tertentu bahkan sudah memulainya, dan ada yang sudah meneruskan dari beberapa bulan lalu.

Sehubungan dengan itu, bagaimana sebenarnya situasi saat ini terkait rencana perubahan kembali pola pembelajaran dari pembelajaran jarak jauh (PJJ) atau dikenal dengan sekolah daring, ke PTM? Apakah bisa dikatakan sudah benar-benar siap? Jika belum, apa yang perlu dipersiapkan dengan matang?

Belum lama ini, dalam acara focus group discussion (FGD) bertajuk "Anak Masuk Sekolah Saat Pandemi, Apa yang Harus Disiapkan", Suara.com berkesempatan berbincang dengan salah seorang Komisioner KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia), Retno Listyarti, terkait topik tersebut. Berikut petikan perbincangan dengannya yang ditulis ulang dalam format tulisan wawancara tanya jawab:

Kami ingin mengeksplorasi beberapa hal. Pertama, kesiapan dari sekolah atau pun pihak terkait untuk menggelar PTM. Itu 2020 ditemukan angka kesiapan 12 persen; 2021 antara Januari-Juni kesiapan sudah lebih dari 70 persen. Itu sebenarnya indikatornya apa? Bisa dijelaskan kepada peserta FGD?

Baca Juga: Gubernur Riau Syamsuar: Warga Sekarang Antusias Ikut Vaksinasi, Kita Harus Maksimalkan

Indikatornya KPAI ada empat. Pertama, fisik, kesiapan infrastruktur kemudian protokol kesehatan atau SOP dan sudah mensosialisasikan. Menyiapkan infrastruktur aja nggak mudah, gimana harus bikin wastafel di depan pintu gerbang. Lalu, kalau kelas ada 10 maka Kemdikbud bikin ketentuan kan satu banding satu. Kalau kelasnya 10 jadi minimal harus ada wastafel 10 juga di sekolah. Ini bagaimana itu semua dipersiapkan.

Kemudian prokes atau SOP. Misalnya kedatangan bagaimana, kepulangan anak bagaimana. Anak-anak yang naik kendaraan umum itu sebaiknya bagaimana penanganannya. Karena di kendaraan umum punya risiko. Nah, itu ada SOP nya sendiri. Datang pakai baju bebas, kemudian datang ke sekolah ganti baju, berarti harus ada ruang ganti di sekolah. Kemudian tas dengan sepatu disemprot disinfektan, kemudian harus punya disinfektan di sekolah. Itu hal-hal yang disiapkan di bagian pertama, itu namanya infrastruktur dan SOP.

Yang kedua adalah terkait dengan petunjuk jaga jarak 3M, jadi jaga jaraknya itu benar nggak. Kami pasti datang ke sekolah memastikan apakah betul jaraknya satu setengah meter, gitu, kalau nggak bisa satu meter kalau hanya satu meter berarti harus ada pembatasan plastik kemudian bagaimana ruang-ruang yang lain. Nah, itu seperti apa ruang guru dan lain-lain, kalau dempet-dempet ya sama aja. Semua dipastikan, tangga naik tangga turun itu dibedain agar tak ada penumpukan, lalu kalau sekolah punya dua gerbang, gerbang yang masuk mana untuk pulang yang mana. Sehingga tak terjadi juga penumpukan jadi tidak crowded kalau hanya satu sisi saja. Nah, itu juga hal-hal yang kita pastikan.

Berikutnya, lebih kepada bagaimana punya tim gugus gas Covid, ada MOU dan lain-lain fasilitas kesehatan terdekat. Nah, itu bagaimana indikator yang kita nilai. Kalau ada tertulis SK kepala sekolah, tim gugus Covid lengkap dengan siap pembertugas siapa melakukan apa itu berarti punya nilai plus. Apalagi kalau punya MOU dengan puskesmas terdekat, kalau anak tiba-tiba pingsan di sekolah itu ada SOP nya sendiri. Ini yang kami pastikan, kira-kira seperti itu indikatornya kalau KPAI melihat. Kami lebih lengkap lebih jelimet dibanding daftar periksa Kemdikbud yang ada 11.

Termasuk juga durasi anak di sekolah?

Baca Juga: Bowo Leksono: Ingin Festival Film Purbalingga Kelak Jadi Terminal Karya-karya Bagus

Iya, durasi anak itu kami merekomendasikan saja, kalau untuk anak SMP waktu itu dua jam, tidak lebih dalam satu pertemuan. Kalau SMA/SMK bisa ditambah satu sampai dua jam. Kita meminta seperti itu dan kami belum merekomendasi SD apalagi PAUD. Sampai hari hari ini PAUD dan TK kami tidak rekomendasi dulu, karena angka nasional saja masih di atas 15 persen itu bahaya.

Kenapa perlu dibedakan, antara anak TK, SD, SMP, dan SMA/SMK?

Anak TK disuruh pake masker aja susah, mereka bermain, peluk-peluk temennya pegang-pegang naik perosotan sama-sama pegang yang sama, agak sulit kan sulit patuh terhadap 3M anak TK jauh lebih sulit. Anak SMP/SMA aja kan yang saya datengin maskernya di tas itu anak SMA. SMA aja begitu apalagi TK.

Kemudian, Bu, saya ingin pertanyaannya lebih dalam. Ini kan sebagian besar anak-anak sekolah sudah belajar jarak jauh. Nah, apa sih yang membuat begitu pentingnya PTM ini digelar? Dengan situasi pandemi ini apakah ada riset yang menyebutkan bahwa misalnya kalau terlalu anak tidak berinteraksi satu sama lain mungkin mereka akan menjadi anxiety, depresi, segala macam. Apakah ada KPAI yang menemukan seperti itu? Kenapa geber PTM sampai positivity rate masih di atas 10 persen.

Kalau bicara learning loss bisa diatasi dengan PTM nggak menjamin juga, sih, nggak ada jaminan. Sebelum pandemi juga, kan, hampir seluruh … internasional, ya, Indonesia juga nomor buncit. Itu belum pandemi, lho, setelah pandemi, ya, bisa lebih parah, ya bisa jadi, artinya, mungkinkan itu semua terjadi bisa aja tapi bahwa PTM mengatasi learning loss ya nggak juga. Kalau pelaksanaan nya juga tidak mempertimbangkan kualitas, artinya ini bukan soal banyaknya pertemuan tapi bagaimana membangun pendidikan yang kritis. Anak berani bicara, anak berani debat, anak mau membaca buku-buku yang direferensikan, sebenarnya menurut saya untuk mengatasi learning loss itu literasi digital dibangun, budaya baca dibangun, gitu.

Jadi, bahwa PTM terus jawab soal lagi, ya nggak akan membangun. Sekolah itu adalah bukan mengajarkan jawab soal, sekolah itu harus mengajarkan berpikir, punya keterampilan dalam berpikir. Ini premis mayor, ini premis minor, dan kesimpulannya apa. Jadi anak bisa berpikir, menggunakan otaknya untuk berpikir kritis. Itu kemudian sayang otak anak cuma disuruh menjawab soal di buku teks. Itu bedanya dengan bimbel apa. Bimbel kan disuruh jawab soal, kalau sekolah ya seharusnya tidak jawab soal.

Artinya berbicara PTM dengan PJJ, kan, mau beriringan juga, nggak bisa meninggalkan PJJ-nya. KPAI bicara kualitas pertemuan, sebaiknya itu PTM materi sulit serta butuh praktik. Karena anak-anak stres karena nggak ketemu guru dan teman, tapi juga nggak bisa jawab soal nggak ngerti materi. Orang tua nggak bisa bantuin, nggak ngerti materi, anak juga nggak ngerti, jadi, kan kayak orang stres.

Ini yang menurut kami adalah penting bahwa, satu, PJJ itu jangan bertumpu pada daring, harus bertumpu dengan menggunakan berbagai macam. PJJ juga bisa tanpa daring. Misalnya, menggunakan digital tanpa harus selalu daring itu bisa kok. Umpamanya, anak-anak guru bhs Indonesia, sekarang ada link novel. Gurunya harus pilih dan baca novel dulu. Gurunya harus nyariin novel-novel anak-anak remaja usia ini tepat, ada linknya, di share, tugasnya suruh baca novel. Jadi, dalam seminggu ini tugasnya baca novel, anak-anak pasti senang dapat tugas baca novel. Kemudian, apa kesanmu dari itu dan ada dalam bentuk diskusi dituliskan, gitu. Ini kemudian kalau bhs Inggris novel-novelnya bhs Inggris.

Berikutnya, anak-anak SD apalagi TK sebenarnya bisa pelajarannya nggak usah disuruh jawab soal, atau gambar ini gambar itu digabung ya nggak usah begitu, dia bisa melakukan apa yang dia mau. Kalau dia suka melukis, suruh gambar terus, lakukan yang dia suka. Tapi, ada dua hari ada pelajaran berbuat baik dengan sesama seperti hewan piaraan atau tanaman di rumah atau kepada orang tua. Sebenarnya kenapa kemudian urgen banget gitu, seluruh dunia juga sebenarnya mengalami. Bahwa ini juga mengatasi learning loss makanya buru-buru, saya rasa nggak menjamin juga. Cara mengajar PJJ dengan PTM ini harus dilatih harus disiapkan.

(Artinya) Ini jadi momen juga bagi tenaga pengajar untuk eksperimen dengan teknologi mengajar?

Betul.

Di sini sebenarnya ada dilema, saya justru melihat yang butuh PTM anak-anak SD. Saya punya anak usia SD dan bagaimana dia kehilangan momen-momen berinteraksi dengan temannya dan juga dia tidak bisa sepenuhnya mandiri dengan belajar. Itu bagaimana?

Saya mengatakan di masa pandemi hak pendidikan saya taruh di nomor tiga. Karena bagi kami di masa pandemi justru hak hidup nomor satu, hak sehat nomor dua. Karena anak-anak SD dan TK itu mungkin kelompok yang secara sulit menerapkan 3M tadi. Lalu, mereka juga pada posisi sebenarnya di dalam kelas mungkin bisa duduk manis tapi begitu keluar mereka jajan dan berkerumun nggak pakai masker makan bareng-bareng.

Ini yang kami cegah dan tetap hidup. Mengingat angka kematian anak di Indonesia tertinggi di dunia dengan rata-rata 5 persen. Sementara, global itu hanya tiga persen, ini yang kita khawatirkan. Kalau anak sekolah dibuka untuk anak TK dan SD kemudian terjadi penularan kita justru kehilangan jumlah anak yang banyak. Karena Indonesia nggak punya ruang ICU Covid khusus anak. Jadi, misal anak sesak nafas pasti harus ada ventilator anak nggak mungkin pakai ventilator dewasa, ini yang buat anak tidak tertolong apalagi dengan komorbid misalnya asma, itu rentan sekali.

Kemudian kalau SMA, kami melihatnya gini, pertama, mereka sudah divaksin, jadi mereka pun akan aman. Kedua, anak ini jauh lebih bisa diajak bicara karena pikirannya berbeda tingkatan berpikirnya sehingga lebih baik mereka. Ketiga, materi mereka nggak bisa dipahami oleh orangtuanya, kalau anak SMA, fisika, ibu bapaknya nggak bisa ngerjain apalagi SMK praktek buat baju pesta mungkin berat. Orang tua SD lebih bisa mendampingi, PJJ berbasis orang tua mau nggak mau, untuk anak-anak ini orang tua yang bekerja menjadi sulit, ini harus pakai mengasuh pengganti untuk membantu.

Kenapa kami meminta ada modul karena akan memudahkan petunjuknya orang tua harus ngapain, ada contoh-contohnya, jadi, orang tua pun bisa. Kalau orang tua SD dan SMA masih mampu, yang berat justru mampu di level SMA/SMK.

Bagaimana jika ada siswa yang tidak ingin sekolah tatap muka, apakah dibolehkan?

Dibolehkan, jadi, dalam SKB menteri itu anak-anak yang tidak bisa tatap muka dia tetap harus dilayani daring. Guru-guru sendiri harus melayani dua, yang berat sebenarnya guru-guru harus ngelayani PTM dan PJJ. Untuk guru-guru yang anak-anak ini mayoritas tatap muka tetap ada separuh kan, jadi, 50 persen di sekolah, 50 persen sekolah. Misalnya lebih banyak yang diizinkan sekolah dari 30 murid hanya 5 murid, PTM nya harus 5 murid, sementara yang PJJ nya 25 murid. Sebenarnya yang berat adalah guru, jadi, kalau yang nggak diizinkan silahkan tetap PJJ. Saya punya anak tidak saya izinkan PTM jadi resiko saya yang tidak menginginkan untuk dia berangkat sekolah.

Sebaliknya, jika ada orang tua anaknya ngotot anaknya masuk sekolah tapi dia tidak mengizinkan vaksinasi?

Vaksinasi itu pilihan, tidak bisa dipaksa, tapi dia hak anak, problemnya gini, anak itu untuk vaksin harus izin orang tua, nggak bisa anak itu divaksin tanpa izin orang tua. Kami mendorong para orang tua, ini tuh hak anak, jadi, biarkan anak memutuskan terutama anak-anak yang udah SMA/SMK, kalau orang tua ketakutan ada resiko, ya omongkan, kalau anaknya yakin nggak ada resiko, berikan dukungan. Misalkan, kamu harus istirahat cukup, sarapan, kasih vitamin untuk anaknya efek yang mereka maksud tadi.

Ini sebenarnya hak anak, tapi kalau kemudian ada yang tidak mengizinkan nggak bisa dipaksa, negara nggak bisa memaksa. Jadi, ini satu kesadaran, kalau saya ditanya, saya mendorong vaksin. Karena anak saya divaksin, bahkan ketika vaksinasi anak 1 Juli sudah mulai, saya mencari tahu di mana yang terdekat dan anak saya punya kesadaran. Ada 70 persen sudah divaksin, ada 30 persen yang nggak mau, nggak boleh, atau nggak bisa divaksin. Mereka akan terlindungi oleh yang 70, makannya percepatannya vaksinasi harus dilakukan, jangan mengutamakan Jawa, luar Jawa juga, dong. Anak Indonesia semua.

Oke. Terakhir, silakan kalau ada pesan penutup dari Anda.

Pertama, kami meminta kesiapan semua pihak. DKI yang paling siap dari berbagai daerah yang kami datangi mereka tahap demi tahap dan ada pelatihan, kami berharap begitu. Ada daerah yang cuma ngeluarin surat edaran harus dibuka, tapi nggak tahu nggak dicek. DKI bisa jadi contoh. Kedua, sekolah siap, infrastruktur dan SOP juga gurunya harus siap. Gurunya harusnya coba pakai masker sambil nerangin, anda adalah model dan dicontoh anak-anak.

Ketiga, anak-anak ini terkait orang tua harus siap nganter jemput anak, bekal, masker double, dan masker cadangan. Itu kan orang tua harus nyiapin dan ngelatih pakai masker juga orang tua, cuci tangan juga. Kalau rutin cuci tangan juga meminimalkan virus, terjadi di Korea Selatan, satu jam ada bel cuci tangan di sekolah mereka, setiap satu jam. Ada benda yang dipegang anak-anak, tangga dan handle pintu, kalau tidak sering cuci tangan bahaya.

Terakhir, saya rasa adalah kesiapan anak. Anak harus siap tahu pakai masker, tahu jaga jarak, tahu cuci tangan yang benar. Jangan sampai, wastafel jadi pajangan nggak dipakai. Karena kita, kan, pernah datang ke satu sekolah nggak ada yang cuci tangan langsung masuk kelas. Nah, ini, kan perubahan perilaku bahwa pada saat PTM nanti itu sebelum pandemi dan sesudah pandemi itu berbeda perubahan perilaku menjadi penting. [Aulia Ivanka Rahmana]

0 Response to "Komisioner KPAI Retno Listyarti PTM Jangan Dipaksakan SOP Harus Dipastikan Berjalan"

Post a Comment